Barusan baca blog post ini, karena di-share oleh salah satu teman yang saya follow di Twitter.
http://bacasayasaja.blogspot.sg/2011/06/mother-and-traveler.html
Cerita mengenai obrolan singkat dengan ibu-nya Dina, the famous @DuaRansel, seorang perempuan Indonesia yang menikah dengan seorang Kanada dan kemudian memutuskan untuk jadi Digital Nomad. Traveling tak berkesudahan, sambil kerja jarak jauh. Nggak punya rumah, nggak pernah menetap lama di suatu tempat. Postingan blog ini menunjukkan betapapun seorang ibu mencoba untuk berpikiran terbuka dan menerima anaknya menjadi seorang traveler sejati, tetap saja berat baginya.
Rasa kuatir karena anaknya berada di belahan bumi lain yang mungkin tak pernah dilihatnya.
Rasa penerimaan bahwa anaknya tidak seperti anak-anak kolega maupun kerabatnya yang lain, yang memilih untuk hidup menetap di satu tempat dan beranak pinak – meski dalam hati mereka ingin menimang cucu.
Rasa pasrah, hanya bisa berdoa dan berharap semuanya baik-baik saja. Karena kalau ada apa-apa, dia tak akan bisa berbuat apa-apa untuk membantu anaknya.
Ah.
Jadi ingat ibu sendiri.
Ibu saya diam-diam suka jalan-jalan. Tapi bukan tipe yang ekstrim ini itu. Sekedar plesiran sama saudara-saudara, atau teman-temannya di gereja, dengan kedok visitasi paduan suara (buat yang nggak tahu, visitasi paduan suara itu adalah kegiatan pelayanan gereja dalam bentuk paduan suara suatu gereja mendatangi gereja lain dan mempersembahkan satu-dua lagu di kebaktian gereja tersebut — yang biasanya diwarnai jalan-jalan ke beberapa tujuan lokal sebelum kebaktian maupun setelahnya).
Gitu-gitu ibu saya pernah jelajah Pulau Jawa dalam waktu seminggu mengunjungi sekitar 6-7 kota. Lagi-lagi sama teman-temannya di gereja. Setiap kali saya nelepon, lokasinya sudah pindah. Tadi di Demak. Lalu di Jogja. Lalu di Magelang. Tahu-tahu dia sudah di Jakarta lagi.
Gitu-gitu dia juga sudah ke Jepang dan menghabiskan mayoritas waktunya di Kyoto. Dia juga sudah pernah ke Ambon. Dan ke beberapa spot terpencil di Pulau Jawa — untuk mengunjungi gereja yang jemaat-nya mungkin hanya 10-20 orang. Dan tentu saja ke Singapura beberapa kali (nggak, nggak cuma karena dia mengunjungi saya di sini, tapi juga karena dia ke sini sama teman-temannya)
Kalau Ayah saya? Hm, I don’t think he likes traveling that much. He never seems to make plans to go somewhere, despite the fact that his work takes most of his time. He travels only when he has an annual reunion with his college friends, and of course, the location is depending on the location of the reunion. Aside from that, he never really makes a traveling plan for himself, or for the family.
Saya sudah tinggal di luar rumah sejak kuliah. Empat tahun di Bandung sampai tahun 2004, lalu kembali ke Jakarta dan tinggal di rumah orang tua selama 4 tahun berikutnya, dan keluar rumah lagi tahun 2008 sampai sekarang. Karena itu juga orang tua saya, terutama ibu saya, sudah biasa saya tidak pernah ada di rumah. Dan sepertinya fakta ini sedikit banyak mempengaruhi reaksi Ibu saya kalau tahu saya sedang traveling.
Dulu pas di Jakarta, Ibu saya tadinya bingung dan was-was kalau dengar saya ingin ke pulau ini itu. Apalagi kalau dia mendengar kabar soal ombak yang sedang besar, meskipun saya akan berangkat ke pulau di wilayah perairan yang berbeda. Lalu lama-lama dia biasa. Tapi kemudian saya makin jauh jalan-jalannya. Ke Belitung. Ke Jogjakarta dan Bali sendirian. Ke Kalimantan (Derawan). Ke Flores. Ke Bunaken – Sulawesi Utara. Dan semua itu biasanya saya baru bilang ke beliau saat saya sudah tinggal berangkat. Jadi diapun cuma bisa geleng-geleng kepala, nanya ini itu sekedarnya (karena meskipun dia berkeberatan pun, saya tak akan membatalkan kepergian saya — kecuali kalau alasannya serius sekali) dan berpesan agar saya hati-hati . Dia juga biasanya menelepon saat kira-kira saya sudah tiba di lokasi dan saat saya kira-kira sudah kembali ke Jakarta. I guess deep down inside she knows that she will never be able to stop me, and all she can do is to make sure I am alright.
Pengalaman selama bertahun-tahun itu mempersiapkan Ibu saya untuk bereaksi santai saat saya bilang saya mungkin akan pindah ke Singapura. Saat saya dapat kabar bahwa saya diterima bekerja, saya sempat kuatir sedikit bagaimana reaksi orang tua saya.
“Aku mungkin bakal pindah ke Singapura nih.”
“Haaaaah? Kapan? Ke sana ngapain? Dapat tawaran kerja?”
“Iya” lalu saya cerita soal proses seleksi kerja yang beberapa hari sebelumnya berlangsung, “Sekarang lagi nunggu working pass. Tapi kurang lebih sih akhir April / awal Mei, kayaknya.”
“Oh gitu ..”
“Iya. Gapapa kalau aku pindah Singapura?”
“Yaaa nggak apa-apa. Singapura deket ini. Masih gampang bolak-baliknya.”
Sudah, gitu aja reaksi beliau. Reaksi Ayah saya juga sama saja, meskipun dia bertanya beberapa hal mengenai gaji saya di sini, untuk memastikan aspek finansial kepindahan saya ke Singapura lancar. Antiklimaks banget. Hahahha.
Tapi ya, awal-awal saya pindah dan belum dapat apartemen, Ibu saya konon kuatir setengah mati. Apalagi pas nelepon dengar saya bilang “Sudah ya, besok aja ngobrolnya. Penghuni kamar yang lain sudah tidur, nggak enak kalau berisik.” — beliau langsung tambah stres dengar anaknya tidur sekamar sama orang-orang lain — padahal ya, namanya juga tinggal di hostel … (mungkin di benak beliau saya seperti tinggal di penampungan TKI)
Saya pindah apartemen dua kali, dan dua kali juga dia ke Singapura. Saya yakin bahwa dia melakukannya untuk mengecek kondisi tempat tinggal saya juga. Dan baru bernafas lega saat tahu anaknya tinggal di tempat yang nyaman.
Dan sejak pindah Singapura, hobi traveling saya pun semakin menjadi. Phuket – Thailand, Bali (2 kali), Melaka – Malaysia, Desaru – Malaysia, Kuala Lumpur – Malaysia. Dan seringkali saya lupa kasih tahu beliau dimana posisi saya.
Di Bali :
(Telepon masuk ke nomor Telkomsel saya)
“Halo?”
“Ta? Kamu dimana?”
“Di Bali.”
“Oh jadi ke sana? Pantes diteleponin ke nomor Singapura nggak nyambung-nyambung. Mama coba aja ke nomor Telkomsel, eh, nyambung.”
“Iyaaaa kan udah bilang ada nikahan temen ..”
“Kirain nggak jadi ..” (she laughed)
Di Kantor Imigrasi Malaysia
“Halo Ta, kamu lagi ngapain?”
“Ini lagi di imigrasi nih, lagi ngantri …”
“Heh? Emangnya dari mana?”
“Dari Kuala Lumpur …”
“Oh kemarin jalan-jalan ke Malaysia ya kamu?”
(Hahahah. Lupa bilang. Abis rasanya Malaysia deket — makin dekat tujuan wisatanya, makin kecil kemungkinan saya bilang ke Ibu saya)
Saat ini sepertinya ibu saya sudah menerima bahwa dia adalah ibu dari seorang traveler. Tak lagi jiper saat saya bilang kalau saya mau ke sana ke sini. Bahkan saat saya bilang bahwa saya akan menjelajah Kamboja, Bangkok dan Laos selama 10 hari. Tapi statement paling pol dari Ibu saya yang menunjukkan penerimaan beliau adalah :
“Kamu jalan-jalan mulu .. nikahnya kapan? Eh tapi kamu pasti nggak ada tabungan buat nikah ya. Kan’ abis buat jalan-jalan ..” ujarnya sambil ketawa-ketawa.
Langsung saya samber, “Nah itu tahu (jawabannya)!”
Hahaha.
I think my Mom is a pretty cool mother of a traveler.
Entah apa reaksinya nanti saat saya hadapkan pada ujian berikutnya: mendengar bahwa putrinya akan pergi traveling untuk waktu yang cukup lama.
Tapi rencana itu masih jauh.
Marilah kita pikirkan nanti saja.
Note.
Blog yang saya baca malam ini sebenarnya menginspirasi saya untuk mencetak foto-foto liburan saya, lalu mengirimkannya via snail mail ke Ibu saya. Tanpa cerita panjang (kalau tunggu cerita, pasti nggak bakal dikirim-kirim), hanya rangkaian foto bernomor, sehingga dia bisa mereka-reka sendiri cerita liburan saya. At least she will finally see what I had seen 🙂