18 years of English

Standard
Jadi kemarin saya lagi ngobrol sama bos saya saat kita lagi di jalan melewati salah satu tempat kursus bahasa Inggris paling hip untuk anak SMA di jaman saya, dan saya pun cerita kalau saya pernah les di situ sampai lulus. 
Terus dia nanya apakah karena les di situ saya bisa Bahasa Inggris?
Terus saya mikir sebentar. Nggak juga sih. Saya tahu persis tempat kursus itu membantu murid-murid belajar Bahasa Inggris kalau mereka sudah pernah tahu Bahasa Inggris dasar sebelumnya. Banyak teman-teman saya yang lain yang komplain karena nggak merasa bisa juga setelah les disitu.
Yang pasti sih saya juga ga merasa saya bisa Bahasa Inggris semata karena les di situ aja. Nope. If i am able to speak English now, it’s because I have been learning it since i was in 3rd grade of Elementary School 🙂
Jadi, Ayah saya waktu itu entah kenapa getol banget nyuruh saya les Bahasa Inggris. Dan saya juga suka, karena itu saya mau aja disuruh les kesana kemari.
Kelas 3 SD saya sudah disuruh ikut les di tempat les Bahasa Inggris di kompleks rumah saya. Itu pun ada 2 tempat belajar, ceritanya pertama kali saya belajar di tempat yang ece-ece, terus kemudian pindah ke tempat les yang lebih bonafid dikit (karena cabangnya banyak tersebar di seluruh Jakarta, walaupun rata-rata lokasinya di perumahan juga).
Pelajarannya ga macem-macem, cuma belajar vocabulary, dan simple grammar. Nama guru saya waktu itu Pak Tatag. Saya itu murid kesayangan dia .. hahaha. Saya sampai pernah dikirim mewakili tempat les saya untuk ikut Quaky-Maky Quiz – intinya itu cerdas cermat Bahasa Inggris, bertiga sama teman saya yang lain. Dan kalo ga salah hasilnya lumayan, kami sempet masuk final meskipun akhirnya kalah.
Saya les di sana sampai lulus SD, sementara di sekolah saya, saya mendapat pelajaran Bahasa Inggris dari kelas 5. Well, karena saya sudah les dari sejak tiga tahun sebelumnya, materi yang diajarkan rata-rata sudah pernah diajarin di tempat les, jadi pantes aja kalau saya jadi anak kesayangan guru Bahasa Inggris saya di sekolah juga karena nilai saya bagus-bagus.
Pas SD juga saya pernah nekad ngarang pake Bahasa Inggris. Ini efek kebanyakan baca bukunya Enid Blyton, saya pun bikin cerita tentang perempuan kecil yang hidup di peternakan. Saya inget banget diketawain sama kakak-kakak saya karena sok jago. Karangan saya cuma 1 halaman loose leaf ukuran kwarto, ditulis pake pensil karena takut salah.
Saya inget juga saya MENOLAK menulis kata “bye” dengan ejaan aslinya, karena menurut saya jelek dilihat – dan saya tetep kekeuh menulisnya dengan ejaan “bay” dan menggunakannya untuk mengakhiri surat untuk gebetan saya dengan kata “bay bay” 
Pas SMP, saya masuk ke sekolah yang satu yayasan sama SD saya, dan di sana tentunya pelajaran Bahasa Inggris juga. Tetap lho, saya jadi anak kesayangan semua guru Bahasa Inggris, dari kelas 1 sampai kelas 3 – termasuk guru Bahasa Inggris kelas 3 yang terkenal paling killer. 
Tapi sama guru Bahasa Inggris kelas 3 ini juga saya belajar grammar yang benar. Namanya Bu Dina, dia punya buku bikinan sendiri, intinya rangkuman grammar Bahasa Inggris. 
And I swear, the book was like, my english language bible! Di situ semua grammar dijelaskan dengan gamblang, dan saya suka banget belajar dari situ. Sampai sekarang saya masih ingat penampakan buku itu, covernya warna kuning karton tipis biasa, font Times New Roman dan isinya cuma sekitar 20 lembar. Tapi setiap halamannya PENTING banget dipelajari kalau mau ngerti grammar Bahasa Inggris.

Dan pas SMP saya juga mulai menggunakan sarana belajar Bahasa Inggris yang lebih menyenangkan. Saya beli novel Bahasa Inggris pertama saya, serial novel remaja yang diangkat dari serial TV favorit saya : Full House. Ceritanya serial novel ini mengangkat kehidupan anak kedua mereka (inget ga, yang paling tua namanya DJ, kedua Stephanie, yang terakhir Michelle?) – yang masih SMP.

Nah ini cover buku Bahasa Inggris yang pertama kali saya beli. Harganya Rp. 14.500,- – terhitung mahal gila, mengingat harga komik elex di jaman itu masih Rp. 3.000,- sd Rp. 3.300,-
Tapi, saya SUKA BANGET! 
Setelah buku ini saya pun membeli judul-judul yang lain dari serial Stephanie ini, macam Wish Upon a VCR, The Dude of My Dreams, dan The Great Date Debate.  
Biasa, pas baru mulai baca novel Bahasa Inggris, dikit-dikit buka kamus biar ngerti. Baca buku ini, kemana-mana selalu nempel sama kamus yang setebel gila. Tapi kemudian saya belajar untuk nggak melakukan itu, tapi mencoba untuk membaca terus tanpa kamus, karena lama-lama saya pun mendapatkan gambaran arti katanya (and it works! i swear hehehe) 

Terus pas SMP pun saya mulai ikut-ikutan punya penpal. Inget nggak dulu pernah ada organisasi namanya IYS (International Youth Service) yang memberi kesempatan kita untuk daftar, kasih kriteria penpal yang kita mau (misal umur berapa, dari negara mana, cewek/cowok), dan beberapa minggu kemudian kita dapet 1 kartu kecil berisikan 1 nama dan alamat surat menyurat mereka.
Dari situ saya punya penpal di Yunani (namanya Melina), di Swedia (namanya Sara), di Australia (namanya Katherine) dan di Finlandia (namanya Terhi). Nah Terhi ini sebenernya penpal temen saya, tapi dia mengizinkan saya surat-suratan sama dia juga. 
Nah, dengan punya penpal ini, belajar Bahasa Inggris jadi seru banget. Belum lagi penpal saya murah hati semua, saya sampai pernah dikirimin kado ulang tahun berdua birthdaybook-nya Hallmark, boneka dan coklat, juga beberapa batu-batuan untuk perhiasan (oh I looooveee freebies! hahaha). Saya dulu juga hobi bikin Mading (Majalah Dinding) dan saya minta mereka kirimin daun-daun kering warna merah/kuning khas musim gugur, dan rasanya pas memegang daun Maple kering (seperti yg ada di bendera Kanada) warna merah kayaknya seneeenggg banget .. (dan daun-daun ini jadi kebanggaan dekorasi Mading saya juga hehehe)
Sayang IYS ini tutup bulan Juni 2008 (see the news here) dan saya pun kemudian out of touch sama Melina, Sara dan Katherine. I tried  to search for them on Facebook, tapi ternyata nama mereka pasaran banget (huhuh) tapi saya masih kontak sama Terhi, sampai sekarang.
Nah, pas SMA, saya barulah les Bahasa Inggris di institusi paling hip untuk anak SMA jaman saya. Kayaknya masuk SMA terus ga les di sini kurang komplit rasanya. Saya les di cabang yang di Pramuka, maksudnya biar deket sama sekolah saya, meskipun jaraknya sekitar 1 jam dr rumah saya yang di ujung dunia itu. Tapi tetap aja, saya kelar sekolah jam 14.05 – dan nggak mau les yang jam 15.00, karena kesiangan, anak-anaknya kurang asik. Paling rame itu kelas yang jam 17.00 (banyak anak-anak sekolah laen yang cakep cakep!) sama jam 19.00. 
Tapi akhirnya saya paling betah les yang jam 19.00 – karena kalau jam 17.00 ada break sholat Maghribnya, dan akhirnya saya jadi ga konsen belajar. Kelar les jam 21.00, dijemput supir (karena udah malem) terus sampai rumah bikin PR bentar terus tidur 🙂
Nah pas SMA juga, satu hal yang JARANG SEKALI terjadi dalam hidup seseorang terjadi sama saya. 
Salah satu penpal saya pindah ke Jakarta! 
Ayahnya Terhi di-hire sama salah satu perusahaan kertas di Tangerang, dan mereka sekeluarga tinggal di Jakarta selama 2 tahun. Dia awalnya sekolah di sekolah internasionalnya Pelita Harapan (dan tinggal di Karawaci) dan kemudian pindah ke British International School (BIS) dan tinggal di daerah Kampung Utan, Ciputat.
It was soooo awesome! 
Dia punya dua adik perempuan, dan saya (juga teman saya yang mengenalkan saya dengan Terhi) sering diundang menginap di rumah mereka pas akhir minggu. Kalau pas nginep, rasanya seperti pindah ke negara lain. I had to speak English 24/7, dan mereka pun datang ke tempat-tempat yang mayoritas pengunjungnya adalah ekspatriat (duh, dulu Lippo Karawaci itu terasa kota bule banget deh), jadi bener-bener nggak kerasa masih di Jakarta. Apalagi orangtua Terhi baik-baik banget, I had sooo much fun hanging out with them.
Sayangnya mereka kemudian pindah lagi ke negara asal mereka, tapi saya dan Terhi tetap keep in touch. Dia juga yang menyuruh saya punya Facebook, karena itu saya sudah punya account Facebook saat tak seorang pun teman-teman saya di Jakarta punya Facebook 🙂
Anyway,
menginjak masa kuliah nggak ada lagi titik pembelajaran Bahasa Inggris yang cukup signifikan. Saya kuliah di jurusan Hubungan Internasional – jadi kemampuan Bahasa Inggris udah terasa seperti sesuatu yang sudah seharusnya dimiliki, karena di jurusan saya mayoritas pada jago banget Bahasa Inggris. Ada beberapa mata kuliah yang dibawakan full dalam Bahasa Inggris (termasuk tugas paper maupun UTS/UASnya) dan saya mengambil dua di antaranya. Banyak kegiatan yang menuntut mahasiswanya untuk berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, jadi memang saat kuliah Bahasa Inggris saya pun semakin banyak digunakan.
Dan itu terjadi, sampai sekarang.
Kalau sekarang sih metodenya ya, cukup nonton DVD dengan English subtitles (atau melatih hearing dengan menghilangkan teksnya) dan baca novel Bahasa Inggris. Or sometimes, write an email in English, dengan menggunakan spelling dan grammar check di MWord, dan berusaha untuk sebisa mungkin menghilangkan garis-garis merah hijau itu sampai tak nampak lagi 😀
So, please do not wonder about my English. Blame my father. Dia yang menyuruh saya les sejak kelas 3 SD – jadi durasi belajar saya sudah lama banget sebenarnya. 
Dan karena durasi belajar yang cukup lama ini juga, sejak SD Ayah saya sudah tak mau memberi saya reward kalau nilai ulangan Bahasa Inggris saya dapat bagus. 
Jadi, dulu Ayah saya selalu ngasih reward Rp. 5000,- kalau ulangan dapat 100 (dan nilainya jd Rp. 10.000,- pas saya SMP) untuk saya dan kakak-kakak saya. Tapi khusus untuk saya, reward itu tak berlaku untuk nilai ulangan Bahasa Inggris, dia bilang karena saya sudah diles-in. Hahahaha.
Ah, to be honest, I love speaking English. Entah kenapa. 
Dan paling jumawa aja kalau ada ekspatriat (bahkan yang belum saya kenal sekalipun tapi sudah berkomunikasi sama saya) bilang Bahasa Inggris saya oke, atau I have excellent American accent. Malah ada yang pernah agak takjub mendengar pilihan kata saya saat mengatakan sesuatu, karena menurut dia kata itu cukup “berat” 
Hahahaha.
Dan sekarang saya pun menyadari pentingnya belajar bahasa asing dari usia muda. 
Saya juga pernah mencoba belajar bahasa Perancis di umur 21, dan menyerah saat lulus level 1 karena saya tak merasa bisa apa-apa. 
Saya lalu mencoba belajar Bahasa Italia di umur 26, dan sumpah, rasanya susaaaahhh banget. Hahaha. Rasanya otak saya menolak menghafal kalau menurut dia tidak ada korelasi logis dari bahan yang harus dia hafal. Alhasil vocabulary dan konjugasi kata kerja saya pun berantakan. 
Tapi saya bertekad untuk menguasai bahasa satu ini. Habis rasanya keren aja bilang ke orang saya bisa Bahasa Italia.
Dan juga, 
sekarang semua orang udah bisa Bahasa Inggris, jadi bisa Bahasa Inggris udah nggak sekeren dulu lagi kedengarannya. 
Hahahaha!

Leave a comment