Inlish – Indonesian speaks English

Standard

One english-speaking expat has once said that i am such a “modern” girl – that i couldn’t even make a decent blog post wholly written in Indonesian.


Dan saya baru menyadari kata-kata dia benar sekali saat beberapa hari ini saya menulis blog seperti sedang syuting sinetron striping. 

Susah bener bok nulis satu jurnal tanpa penggunaan bahasa inggris sedikit pun! 

Saya harus mengakui, entah kenapa. bahwa kadang-kadang gagasan yang muncul di otak saya itu sudah berbentuk dalam kalimat Bahasa Inggris, dan saya kadang kesulitan mencapai makna yang sama kalau diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (tsahhh gaya banget deh saya hehehe).

Coba aja kalimat pertama jurnal ini diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia :

“Seorang ekspatriat berbahasa Inggris (atau yang berbicara bahasa Inggris) pernah berkata bahwa saya adalah seorang gadis “modern” – saya bahkan tak bisa membuat satu jurnal blog (adakah bahasa Indonesia resmi untuk kata “blog”?) yang layak, yang sepenuhnya ditulis dalam Bahasa Indonesia.”

Err. Mungkin cukup akurat sih kedengarannya, tapi jadi kurang “catchy”.

Hahahaha. 

Iyaaaa saya tahu ekspatriat satu itu maksudnya menyindir saya saat bilang saya “modern” karena selama beberapa tahun dia tinggal di Indonesia, dia malah sedang giat-giatnya belajar bahasa Indonesia. 

Dia memang senang dan cukup jago berbahasa Indonesia. Jadi kadang ngobrol sama dia aneh. Percakapan sering bilingual. Saya bicara pakai Bahasa Inggris ke dia, dan dia menjawab dalam Bahasa Indonesia. 

Entahlah, rasanya aneh bicara sama dia dalam Bahasa Indonesia, saya tidak bisa meraba sejauh mana dia mengenal kata-kata dalam Bahasa Indonesia sehari-hari, jadi rasanya kalau ngomong Bahasa Indonesia sama dia, saya harus menggunakan Bahasa Indonesia baku berdasarkan EYD.

Yaaa contohnya saya cuma mau nanya, “Emangnya weekend besok mau ngapain?”

Tapi kalau nekad berbahasa Indonesia sama dia, saya harus bertanya dengan format,”Memangnya akhir minggu nanti mau apa?” atau “Memangnya akhir minggu nanti ada rencana apa?”

Sebenarnya saya tahu sih, ada kemungkinan dia akan dapat mengerti kalaupun saya tanya pakai format percakapan sehari-hari yang pertama – but i really want to avoid that few seconds awkward and confusing silence that may happen while he’s processing what i said, yang kadang mendorong saya untuk akhirnya mengulangi kalimat yang sama dalam Bahasa Inggris, untuk memastikan bahwa dia mengerti apa yang saya bicarakan. 

it feels weird, i swear.

Jadi biasanya saya cari jalan gampang dan tinggal bertanya, “What are your plans for this weekend?” – masalah selesai 😀 

Karena alasan inilah, daripada ribet saya lebih memilih bicara dalam Bahasa Inggris sama dia, maksudnya biar bisa lebih banyak hal dan topik yang dibicarakan, dan saya bisa yakin kalau dia mengerti isi percakapan kami. 

Tapi, seringnya ekspat macam dia malah berharap orang Indonesia yang ngobrol sama dia menggunakan Bahasa Indonesia. Biar bisa latihan katanya. 

Orang yang sama juga kalau lagi kumat jailnya suka berlagak budek dan nggak ngerti kalau saya bicara Bahasa Inggris sama dia – dan baru menyahut kalau saya bicara Bahasa Indonesia. 

Ada lagi orang Australia yang waktu itu baru beberapa minggu di Jakarta dan cukup gregetan karena dia nggak bisa belajar Bahasa Indonesia dengan cepat, sehingga dia suka “ditinggal” kalau lagi rapat sama orang-orang Pemda / Departemen yang kemudian diskusi sendiri pakai Bahasa Indonesia. Dia selalu minta saya bicara sama dia dalam Bahasa Indonesia biar dia bisa latihan ilmu yang dia dapat dari guru lesnya, tapi setiap kali saya ucapkan 1 kalimat dalam Bahasa Indonesia, pasti diikuti oleh 5 menit tanpa sahutan sementara dia mencari arti kalimat saya di kamus. 

Dan salah satu kendala terbesar yang dialami orang-orang yang belajar bahasa Indonesia adalah gaya bicara sehari-hari orang Indonesia itu sendiri. Seringkali, dalam percakapan sehari-hari kita menyingkat-nyingkat kata (menghilangkan awalan/akhiran dalam kata kerja) atau mengganti kata dengan yang lebih informal. Misalnya kata “sedang menyelam” sering diucapkan secara informal  “lagi nyelam” atau kata “Mau pergi kemana?” sering kita sebut cukup dengan, “Mau kemana?”

Trust me, untuk kita sih sebenarnya normal dan sangat wajar ya, tapi untuk mereka yang berusaha belajar bahasa Indonesia, hal-hal seperti ini yang sangat menyulitkan. Rasanya seperti tidak punya standar baku dalam penggunaan bahasa, saat kita mengucapkan “Mau kemana?” sebagai ganti “Mau pergi kemana?” – maksud kita kan intinya sama, tapi buat mereka, mereka bisa jadi berpikir bahwa itu kalimat lain lagi yang artinya bisa aja berbeda.

Jadi, sudah hampir setahun ini saya juga belajar Bahasa Italia. Dan selama belajar, saya dan teman-teman saya seringkali gregetan karena ternyata Bahasa Italia itu juga sering disingkat-singkat, diucapkan dengan berbeda kalau digunakan dalam percakapan sehari-hari. Karena kendala itu juga, kami merasa banyak banget kata-kata dalam bahasa Italia yang harus dihafal dan dikenali. Mungkin kendala seperti ini juga yang dihadapi mereka yang belajar Bahasa Indonesia 😀

Jadi jangan salah, mungkin saya orangnya suka mencampur-campur bahasa Indonesia dan Inggris, tapi bukannya saya nggak nasionalis. 

Seriusan deh, saya cinta Indonesia. Saya cinta pulau dan pantai-pantainya yang kerennya tiada dua, saya cinta keragaman budaya, alam maupun rasa yang membuat Indonesia berkali-kali lipat lebih menarik daripada negara-negara modern lain yang cenderung membosankan.

Tapi ya, saya akui, saya belum bisa benar-benar berbicara Bahasa Indonesia 100% 24 jam sehari 7 hari seminggu. I am not talking the days before i learn English yaaaa .. i am talking now, as in present days. 

There’s something about the language, yang membuatnya terasa sangat formal, kurang deskriptif (misal untuk bahasa Inggris ada varian kata see, look, stare, dan glare – yang masing-masing punya feel yang berbeda meskipun intinya sama-sama “melihat”. Sedangkan di Bahasa Indonesia yang sering digunakan palingan hanya “melihat” dan “menatap”) dan kurang efektif penggunaannya dalam kalimat (kalimat dalam bahasa Indonesia biasanya lebih panjang daripada kalimat Bahasa Inggris, meskipun artinya sama) dan pada saat ditarik menjadi bahasa yang lebih tidak formal – malah jadi terlalu santai dan terasa terlalu slang, so there’s no middle ground.

Ah. Saya sendiri bingung bagaimana harus menjelaskannya hahahaha.

Saya ceritanya mencoba untuk menceritakan kendala ini sama teman saya yang orang Jerman, yang kebetulan lagi ngobrol di messenger selagi saya menulis blog ini – but then I stopped mid-sentence. I realize, without intending to discriminate him, that this is a problem, that only fellow Indonesian-speaking Indonesians can understand 🙂

Anyway, blog ini sama sekali nggak berniat untuk bilang Bahasa Inggris itu lebih baik daripada Bahasa Indonesia. Sama sekali nggak. Semua ada kelebihan dan kekurangan masing-masing tentunya.

Saya malah senang kalau ada ekspatriat yang benar-benar berusaha belajar Bahasa Indonesia, that just shows that they’re respecting our country enough to be willing to learn our language.

But then I can also say that I respect their country enough to be willing to speak their language kan?

Hahahahahaha!

Tapi ya, yang pasti saya bangga, kalau Bahasa Indonesia adalah bahasa yang masih dapat digunakan untuk membuat sebuah dokumen resmi seperti skripsi / tesis, atau bahkan pidato kenegaraan atau paparan akademis yang SELURUHNYA ditulis dalam Bahasa Indonesia.

Tidak seperti bahasa sebuah negara lain yang konon serumpun, tapi struktur bahasanya masih sangat tidak formal sehingga untuk dokumen resmi seperti di atas tetap harus menggunakan Bahasa Inggris 🙂



Dan secara tidak sengaja, karena topik yang lagi dibahas, postingan saya hari ini akhirnya menggunakan bahasa Inggris yang sangat minimal. Hahaha .. otak saya self-conscious juga nampaknya, nggak mau dibilang nggak cinta bahasa negeri sendiri. 

And this post will be the last entry of one of my most productive in blogging week hahaha have a nice weekend, everyone!


Leave a comment